5.2 Perang Gerilya dan Kontra-Gerilya (wawancara)

< >

Description

Ketika prajurit H. maju bersama dengan unit KNIL-nya selama operasi militer Belanda pertama pada tahun 1947, ia tidak dapat menemukan satupun serdadu Indonesia. Tentara Indonesia telah mundur, menggunakan taktik bumi hangus, sebelum pasukan Belanda bisa melancarkan serangan. Pasukan Indonesia melakukan perang gerilya melawan tentara Belanda yang lebih unggul dalam jumlah senjata dan dengan artileri yang lebih berat. Mereka menggunakan serangan tabrak lari untuk mencoba menggagalkan upaya Belanda untuk memulihkan otoritas kolonial. H. berbagi cerita tentang kampanye balas dendam yang direncanakan oleh komandannya kala itu, setelah dua tentara Belanda tewas dalam penyergapan. Pembalasan ditujukan untuk memberi 'contoh' bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia, dan bagi penduduk sipil setempat untuk mencegah mereka dalam memberi dukungan pada para pejuang kemerdekaan. Dinamika serangan gerilya dan kontra-gerilya ini menyeret pihak-pihak yang bertikai ke dalam lingkaran kekerasan yang tak terkendali.

Wawancara dengan H. SMGI 1126.2 (6), 1997.

Pasukan militer Belanda yang diserang selama Agresi Militer Belanda I/Aksi Polisi Pertama di sekitar Porsea. Sumatera, 1947. Juru Foto tidak diketahui. KITLV 14079.

Transkripsi
H: “Sudah barang tentu ada penyiksaan. Jika Anda adalah orang jahat dan memiliki alasan untuk menembak kepala seseorang, maka Anda akan mencari pembenaran. Seperti itulah manusia. Semua omong kosong tentang kami [militer Belanda] yang dapat dipersamakan dengan SS, dan kami menyiksa orang dan sebagainya. Ya, saya tahu satu kasus, saya pernah menceritakannya sebelumnya, penyergapan yang berujung penembakan warga sipil mati dan lalu perwira itu menembak mati enam orang. Apakah saya pernah menceritakan kisah itu?”

I: “Sepertinya tidak.”

H: “Pada suatu hari melintas kendaraan perbekalan, kendaraan sipil yang mengantar seorang baboe untuk belanja kebutuhan, dikawal oleh dua serdadu Dua mati. Mobil itu hancur berkeping-keping. Komandan tersebut sangat marah sehingga ia menangkap enam tahanannya dan membawa mereka ke lokasi penyergapan, dan menembak mati mereka. Dia memerintahkan agar mayat merekas dibiarkan terbujur di sana selama tiga hari. Saya melihatnya. Saya tidak melihat mereka ditembak mati, tetapi saya melihat mereka tergeletak di sana. Dia pria yang sangat baik dan pendiam. Saya ingat namanya, tapi karena ini sedang direkam, saya tidak akan menyebutkan namanya, karena kemudian beberapa kelompok aksi atau lainnya akan mengutuki saya.”

I: “Bagaimana perasaan Anda saat itu?”

H: “Saya dapat memahaminya, tidak lebih dari itu. Saya tidak menyetujuinya, tapi tidak juga menyanggahnya. Saya bisa memahaminya.”