5.6 Pemboman Malang (wawancara)

< >

Description

Sementara militer Indonesia pada umumnya tidak dipersenjatai dengan baik selama perang kemerdekaan, tentara Belanda sanggup mengerahkan tank, kapal, dan pesawat udara. 'Kekerasan teknis' ini dapat menyebabkan kerusakan besar pada musuh. Senjata-senjata tersebut memiliki daya tembak yang serius, namun tidak terlalu akurat. Akibatnya, tidak jarang pengeboman dan tembakan artileri menimbulkan banyak korban sipil. Tidak mengherankan, bentuk peperangan ini menebar ketakutan di kalangan warga sipil. Nona S.M., seorang wanita Tionghoa-Indonesia, baru berusia empat tahun ketika dia mengalami pengeboman Belanda di kota Malang, tempat dia tinggal bersama keluarganya. Ia berbagi cerita tentang memori masa kecil ini, yang menggambarkan dampak pengeboman Belanda selama perang.

Wawancara anonim dengan Nona S.M. CIHC Oral History Collection 21-1. Tempat tidak diketahui, 2013.

Pengungsi berjalan ke garis perbatasan Inggris selama Pertempuran Surabaya. Jawa Timur, 1945. Juru Foto tidak diketahui. KITLV 44717.

Transkripsi
SM: “Jalan harus segera dikosongkan, karena mereka mengatakan akan ada pemboman. Mereka memperingatkan kami bahwa sebuah pesawat Belanda akan mengebom jalan.”

I: “Mengapa mereka melakukan itu?”

SM: “Entahlah. Lalu saya harus buang air besar. Semuanya menungguku di balik pintu. Ibuku yang memberita ini kemudian. Ibuku membantuku. Ketika sudah selesai, saya dan ibu lari menuju pintu keluar ke arah orang-orang yang sudah menunggu di jalan. Lalu, rumah saya hancur, terkena bom, tepat di belakangku..”

I: “Bomnya jatuh tepat di rumah Anda?”

SM: “Ya, saya sangat ketakutan. Saya berpegangan pada kaki ibu saya, tetapi dia sedang hamil besar. Saya ingat beberapa bagian bahwa saat saya berjalan sejauh itu, ada banyak orang tergeletak di jalan dengan perut robek, penuh darah, kaki patah dan usus terburai. Persis seperti pemboman yang Anda lihat di film. Pemboman membabi buta. Mereka tidak hanya mengebom gedung; mereka juga mengebom orang-orang. Sehingga mereka bisa mengklaim bahwa Indonesia masih milik Belanda. Begitulah. Dan kami berjalan menuju rumah pinjaman dan kemudian saya pikir itu adalah hari berikutnya ketika saudara laki-laki saya lahir. Di Jalan Dempo. Itu rumah yang boleh kami pinjam karena orang-orang yang tinggal di sana sudah melarikan diri.”