6.6 Seribu Buku dan Granat (wawancara)
Description
Pada masa penjajahan, Suhendro Sosrosuwarno bersekolah di Sekolah Pribumi Belanda (Hollands Inlandse School, HIS). Namun saat berada di rumah, ia belajar tentang perbedaan antara sejarah Indisch yang berfokus pada sejarah Belanda dan sejarah Indonesia. Ia juga membaca banyak karya Multatuli, seorang penulis Belanda terkenal di abad kesembilan belas yang mengkritik kolonialisme Belanda, sejak usia muda. Penyerahan Hindia Timur Belanda setelah invasi Jepang memberi kesan mendalam pada Sosrosuwarno. Tampaknya Belanda tidak sekebal seperti yang digambarkan dalam buku-buku sekolah. Ia menggembleng kaum muda untuk berjuang demi kemerdekaan dengan mengarahkan mereka pada karya intelektual Indonesia seperti Sukarno dan Sjahrir. Selama perang kemerdekaan, Sosrosuwarno memulai kuliah di Universitas Indonesia yang baru didirikan. Ia juga bergabung dengan Laskar Kere, pasukan mahasiswa Republik Indonesia. Berbekal senjata Jepang, mereka melawan pasukan Gurkha tentara Inggris antara Solo dan Semarang. Sosrosuwarno berbicara tentang bagaimana ia memadukan antara pertempuran dan studi di universitasnya.
Wawancara dengan S. (Suhendro) Sosrosuwarno. SMGI 1466,2 (4). Hillversum, 1999.
Potret kelompok pejuang kemerdekaan Indonesia. Jawa, 1948-49. Fotografer tidak dikenal. KITLV 14040.
Transkripsi
I: “Kala itu Anda sudah tidak lagi bersekolah?”
S: “Saya kembali bersekolah. Setelah kami berjuang di garis depan. Kami mendapat materi pelajaran yang harus kami kejar dari teman sekelas kami. Ketika kami berjuang di depan, kami membawa buku kami untuk belajar. Ya, Anda harus menghasilkan yang terbaik dari situasi yang buruk! Ketika saya terluka, saya disambut bak pahlawan. Saya mulai menulis dengan tangan kiri karena saya pikir mungkin saya akan kehilangan tangan kanan saya.”
I: “Bagaimana Anda bisa terlibat dalam pertempuran itu?”
S: “Laskar Kere berada di Salatiga dan saya pergi menyusulnya. Salah seorang guru kami menghabiskan sepanjang malam mencoba membujuk saya untuk tidak melakukannya. 'Jangan ikut berperang, anak muda, lanjutkan studimu. Karena engkau adalah masa depan negara kita.’ Tapi saya bertekad untuk ikut berjuang. Lalu saya mendapat tumpangan truk ke Salatiga dan saya bergabung dengan Laskar Kere di sana. Saya belum pernah melepaskan tembakan sebelumnya. Saya menembak tentara Gurkha untuk pertama kalinya dalam salah satu pertempuran di Tuntang. Seiring berjalannya waktu, saya menjadi makin mahir.”
Wawancara dengan S. (Suhendro) Sosrosuwarno. SMGI 1466,2 (4). Hillversum, 1999.
Potret kelompok pejuang kemerdekaan Indonesia. Jawa, 1948-49. Fotografer tidak dikenal. KITLV 14040.
Transkripsi
I: “Kala itu Anda sudah tidak lagi bersekolah?”
S: “Saya kembali bersekolah. Setelah kami berjuang di garis depan. Kami mendapat materi pelajaran yang harus kami kejar dari teman sekelas kami. Ketika kami berjuang di depan, kami membawa buku kami untuk belajar. Ya, Anda harus menghasilkan yang terbaik dari situasi yang buruk! Ketika saya terluka, saya disambut bak pahlawan. Saya mulai menulis dengan tangan kiri karena saya pikir mungkin saya akan kehilangan tangan kanan saya.”
I: “Bagaimana Anda bisa terlibat dalam pertempuran itu?”
S: “Laskar Kere berada di Salatiga dan saya pergi menyusulnya. Salah seorang guru kami menghabiskan sepanjang malam mencoba membujuk saya untuk tidak melakukannya. 'Jangan ikut berperang, anak muda, lanjutkan studimu. Karena engkau adalah masa depan negara kita.’ Tapi saya bertekad untuk ikut berjuang. Lalu saya mendapat tumpangan truk ke Salatiga dan saya bergabung dengan Laskar Kere di sana. Saya belum pernah melepaskan tembakan sebelumnya. Saya menembak tentara Gurkha untuk pertama kalinya dalam salah satu pertempuran di Tuntang. Seiring berjalannya waktu, saya menjadi makin mahir.”