Aceh

Pada 1891 dan 1892 Snouck tinggal di Aceh. Dia mempelajari bahasa Aceh dan meneliti keadaan politik dan sosial di wilayah itu. Dia menasihati pemerintah kolonial untuk selanjutnya tidak memperhatikan sultan Aceh yang tidak memiliki kekuasaan nyata di wilayah itu, untuk menaklukkan musuh Belanda (terutama ulama-ulama setempat) dengan kekerasan, dan untuk mendapatkan kepercayaan penduduk dengan memajukan pertanian, industri kerajinan, dan terutama perdagangan. Butuh waktu hingga tahun 1898 sebelum politik itu diterapkan oleh Gubernur Aceh yang baru, Jenderal Jo van Heutsz. Snouck adalah penasihatnya dan mereka bersama berhasil mematahkan perlawanan rakyat Aceh. Snouck tidak memiliki keberatan moral untuk berperang. Seputar pergantian abad dia adalah eksponen 'imperialisme etis', meskipun istilah itu belum ada pada zaman itu. Wilayah-wilayah yang menurut pandangannya anarkis,

 

berpemerintahan yang sewenang-wenang, atau tempat gerombolan berkuasa, harus ditundukkan di bawah otoritas kolonial, jika perlu dengan kekerasan. Di Aceh menjelang akhir abad kesembilan belas telah terjadi konflik bersenjata yang berlarut-larut selama 25 tahun, yang harus diakhiri. Selanjutnya, di sana dan tempat lain pemerintah kolonial dapat mengatur pemerintahan yang adil dan memberikan modernisasi. Tentu saja tindak kekerasan dalam perang harus dibatasi. Operasi militer dengan tindak pembakaran kampung-kampung yang tak perlu atau pembunuhan petani hanya akan berdampak sebaliknya. Namun, menurut Snouck, jatuhnya korban dalam aksi Belanda adalah suatu hal yang disesali tetapi harus dilakukan. Perang Aceh yang dikobarkan dengan gagasan-gagasan Snouck kemungkinan merupakan kampanye antigerilya atau kontra-pemberontakan pertama dalam sejarah.