
Satu hal yang hampir selalu terjadi pada setiap perang adalah penyempitan peristiwa kepada seorang panglima yang brilian atau pertempuran yang tragis. Penyempitan ini melibatkan pilihan akan siapa dan apa yang dianggap 'ikonis' dan sebaliknya. Dalam perang kemerdekaan Indonesia sendiri, hampir terlalu banyak peristiwa dan tokoh yang dapat dianggap ikonis. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pihak yang berselisih yang masing-masingnya membawa pandangan masing-masing mengenai peristiwa dan tokoh kuncinya.
Dalam tema ini, sebuah upaya telah dilakukan, dengan mengambil materi dari koleksi KITLV dan Universitas Leiden, untuk mempertimbangkan mana yang masuk |
kriteria 'ikonis' dilihat dari berbagai sudut. Meskipun tidak berpihak pada satu sisi, materi yang tersedia di arsip masih menjadi faktor pembatas. Meski begitu, tujuan dari tema ini adalah untuk menawarkan pilihan-pilihan yang telah melalui berbagai pertimbangan. Dengan menunjukkan beberapa tokoh sejarah dan peristiwa yang melambangkan kelompok dan perkembangan selama perang dan khususnya setelah perang di Indonesia. Cara bagaimana tokoh-tokoh dan momen tersebut berkembang menjadi ikon di Belanda dan Indonesia memberi tahu kita tentang banyak hal.
|
-
4.1 Invasi Inggris
Foto ini memberi sedikit gambaran tentang dimulainya perang kemerdekaan Indonesia. Setelah Jepang menyerah, Inggris diberi tugas untuk memulihkan ketertiban di Indonesia, dengan mengerahkan prajurit dari British India. Termasuk di dalamnya brigade Gurkha, unit elit yang terdiri dari prajurit dari Nepal. Hal ini mengakibatkan situasi di mana pasukan kolonial dari satu kekuatan kolonial (Inggris) mempertahankan koloni dari kekuatan kolonial lain (Belanda). Hasilnya adalah pertumpahan darah yang terjadi pada tanggal 10 November 1945 antara pasukan Inggris dan India di satu sisi, dan pejuang Indonesia di sisi lain. Konfrontasi ini dinamakan Pertempuran Surabaya, yang ada dalam buku-buku sejarah sebagai pertarungan paling kejam dalam perang kemerdekaan Indonesia. Prajurit dari 3rd Royal Gurkha Rifles berbicara dengan seorang anak Belanda. Batavia, 1945. Foto diambil oleh Layanan Informasi Pemerintah Hindia Belanda (NIGIS). KITLV 6760. -
4.2 Masa Depan Kolonial
Pada Konferensi Malino tahun 1946, Letnan Gubernur Jenderal Huib van Mook (mengenakan helm empulur) disambut oleh Pangeran Gowa. Pada konferensi ini, Van Mook (sebagai pejabat tertinggi di Hindia Belanda) mengungkapkan rencana barunya untuk melakukan dekolonisasi koloni secara bertahap. Idenya adalah bahwa Konferensi Malino akan menghasilkan serikat federal negara-negara bagian yang dapat bertindak sebagai penyeimbang Republik di Jawa dan Sumatera, yang telah diakui Belanda. Namun, Sukarno dan rekan-rekannya melihat ini sebagai upaya untuk melemahkan Republik, dan memandang negara-negara Malino sebagai negara boneka Belanda. Namun, kaum Federalis Indonesia menginginkan kemerdekaan terlaksana secara bertahap, dengan otonomi lokal dan konsultasi dengan mantan penguasa kolonial. Konferensi Malino menjadi bukti awal konflik yang pahit mengenai bentuk konstitusional dan arah politik yang harus diambil Indonesia. Letnan Gubernur Jenderal H.J. van Mook disambut oleh Pangeran Gowa di Konferensi Malino, timur laut Makassar. Sulawesi (Celebes), 1946. Foto diambil oleh Layanan Informasi Pemerintah Hindia Belanda (NIGIS). KITLV A1133, KITLV 157695. -
4.3 Tirai Terakhir
Pada tanggal 27 Desember 1949, penyerahan kedaulatan secara resmi kepada Republik Indonesia ditandatangani di Istana Kerajaan di Dam Square, Amsterdam. Foto ini menunjukkan pengibaran bendera Indonesia pada saat penyerahan komando Jawa Tengah di Semarang. Asal usul bendera Indonesia tidak sepenuhnya jelas. Kisah yang diceritakan di pihak Belanda adalah bahwa bendera itu dibuat ketika orang Indonesia merobek strip biru di bagian bawah bendera tiga warna Belanda. Tapi kisah tersebut mengabaikan fakta bahwa kaum nasionalis Republik melihat diri mereka sebagai pewaris Indonesia prakolonial bersatu (Kekaisaran Majapahit). Diyakini bahwa kekaisaran ini juga menggunakan bendera merah putih pada abad ketiga belas. Sukarno dan rekan-rekannya secara eksplisit mengidentifikasikan diri dengan masa lalu yang gemilang. Serah terima komando, Semarang. Jawa Tengah, 1949. Juru Foto tidak diketahui. DH 1297, KITLV 40558. -
4.4 Perselisihan Internal (wawancara)
R. dari Jawa menerima pelatihan militer dari Jepang setelah mereka menduduki Hindia Belanda. Setelah Jepang menyerah, revolusi pecah di Indonesia. R. dan kawan-kawannya membentuk satuan tempur menggunakan senjata Jepang. Satuan tersebut menjadi bagian dari Tentara Nasional Republik Indonesia, TNI. Namun, kekuatan militer Indonesia lainnya juga berjuang untuk memegang kendali nusantara. Pada tanggal 18 September 1948, tentara dari partai komunis PKI memulai pemberontakan bersama dengan simpatisan di TNI di kota Madiun, yang pada saat itu dikuasai oleh Republik. Cara TNI menumpas pemberontakan dengan tanpa ampun meyakinkan Amerika Serikat bahwa Republik dapat menjadi sekutu dalam perjuangan global melawan komunisme. Hal ini menjadikan pemberontakan di Madiun sebagai titik balik penting dalam perang di Indonesia. R. berbicara tentang perlakuan brutal terhadap tentara komunis, sebuah kenangan menyakitkan yang terus menghantuinya. Wawancara dengan R. SMGI 1722.2 (11), 2001. Mahasiswa komunis Indonesia dengan spanduk. Dekat Tasikmalaya, tanggal tidak diketahui. Juru Foto tidak dikenal. DH 1691 (45). Transkripsi I: “Ketika Anda melihat anggota TNI membunuh anggota TNI lainnya juga anggota PKI, sehingga tidak jelas mana teman dan mana lawan, dan siapa yang membela apa. Bagaimana perasaan Anda mengenai hal itu?” A: “Mereka ada di pihak PKI. Mereka salah. Mereka seharusnya tidak melakukan itu. Mereka salah. Mereka ditangkap dan ditembak mati. Mereka menyerah. Namun sebelum ditembak, mereka ditikam dengan bayonet. Oh.” I: “Lalu mereka ditembak?” J: “Ya. Saya menyaksikannya!" I: “Anda menyaksikannya, lalu Anda melanjutkan serangan kembali?” J: “Ya. [Diam] Tidak baik mengingatnya lagi.” I: “Apakah Anda sering mengingatnya kembali?" A: “Ya. Saya tidak bisa melupakannya begitu saja. Tidak mungkin. Bagaimana saat mereka berteriak, saat mereka ditikam dengan bayonet. Tidak bisa. Terkadang orang mengatakan 'Dia hanya mengada-ada!' ketika mereka mendengar teriakan itu. 'Entahlah apakah itu benar?' Tapi saya melihatnya sendiri! Saya beri tahu Anda, TNI menikam mereka dengan bayonet.” -
4.5 Kelompok Tionghoa Kala Revolusi di Surabaya (wawancara)
Ketika pasukan Sekutu Inggris mendarat di Indonesia pada tahun 1945 untuk melucuti senjata Jepang, revolusi Indonesia sudah berlangsung. Sebuah insiden terjadi di Hotel Oranje di Surabaya saat bendera triwarna Belanda dikibarkan dan memicu pertempuran paling berdarah dalam perang kemerdekaan. Kaum revolusioner merasa takut Inggris akan membantu kekuatan kolonial Belanda mengambil alih kendali. Setiap orang yang dicurigai oleh kaum revolusioner Indonesia sebagai mata-mata atau bekerja sama dengan kekuatan kolonial berada dalam bahaya, termasuk orang Indonesia sendiri. Orang Tionghoa Indonesia juga sering dianggap sebagai wakil rezim kolonial. Karena itulah Bapak Sie dan lima orang lainnya mengatur evakuasi beberapa keluarga Tionghoa dari Surabaya. Ia berbagi kisah tentang kekerasan yang terjadi pada saat itu. Apabila pihak Indonesia mengingat periode ini sebagai Revolusi, orang-orang Eropa dan Indisch mengingatnya sebagai periode Bersiap. Perspektif yang berbeda tentang peristiwa ini masih bergema hingga sekarang. Wawancara dengan Sie Gwan San. Koleksi Sejarah Lisan CIHC CIHC 22-1. Tidak dicantumkan tempat, 2013. Pengungsi Tionghoa berjalan ke arah garis Inggris selama Pertempuran Surabaya. Surabaya, 1945. Juru Foto tidak diketahui. KITLV 44715. Transkripsi S: “Kami tidur di penggilingan padi dengan… pengungsi, sebut saja begitu, semuanya orang Tionghoa. Dalam perjalanan, saya melihat satu orang. Seorang jenderal yang ternyata orang Arab Salah satu saksi mengatakan demikian. Saksi mengatakan ia adalah Arab Sunkar. Saya tidak akan pernah melupakan kata-kata itu: Arab Sunkar.” I: “Arab Sunkar?” S: “Sunkar adalah nama, Arab karena dia orang Arab dan dia dipanggil Sunkar. Ia diseret dari Surabaya Selatan menuju Sidoarjo. Saya melihatnya..” I: Apa maksud Anda ‘diseret’?’ S: “Diseret di belakang truk, hidup-hidup.” I: “Oh, tidak.” S: “Diseret. Karena ia adalah 'mata-mata musuh'. Saya sendiri tidak melihatnya tetapi salah satu teman saya melihatnya, Lian Hwat – orang-orang dibakar. Di alun-alun. 'Ia mata-mata musuh.’” I: “Apakah mereka orang Tionghoa?” S: “Tidak, tidak. Tidak ada orang Tionghoa sama sekali. Mereka orang Indonesia.” I: “Dan Anda pergi ke Surabaya untuk orang Tionghoa...” S: “Untuk menjemput mereka.” I: “…dan bawa mereka ke tempat yang lebih aman.”