
Membingkai lawan secara negatif adalah aspek kunci dalam perang. Lawan dicitrakan buruk untuk melegitimasi perjuangan dan memotivasi barisan. ‘Membingkai’ dalam konteks ini mengandung arti cara sesuatu atau seseorang disajikan. Caranya bisa mencakup peristilahan, citra visual, dan asosiasi yang muncul dari keduanya. Gambar adalah fokus dari tema ini: bagaimana 'Liyan' ditampilkan dan pesan apa hendak yang disampaikan?
Oleh Belanda, segala upaya dilakukan untuk melukiskan Republik Indonesia sebagai kelanjutan dari fasisme Jepang. Cara ini bertujuan untuk melemahkan |
legitimasinya. Para pejuang Indonesia umumnya dicap sebagai 'ekstremis' atau 'teroris', yang secara tidak langsung membantu memberi pembenaran atas kekerasan yang dilakukan Belanda terhadap mereka. Sementara, Republik Indonesia membingkai perjuangan dalam kerangka hak internasional untuk menentukan nasib sendiri. Propagandanya sebagian ditujukan untuk menyerukan masyarakat internasional untuk mendukung Republik berjuang memperoleh kemerdekaan dan dengan demikian mengambil sikap melawan aksi kolonial Belanda. Untuk memperkuat pesan ini, citra visual dibuat untuk menjelekkan citra Belanda, dengan menggambarkannya sebagai imperialis yang kejam dan rakus.
|
-
2.1 Di Bawah Bendera Merah Putih
Untuk sekian lama, Republik Indonesia dibingkai Belanda sebagai hasil bentukan fasisme Jepang. Republik Indonesia dituduh tidak mendapat dukungan dari rakyatnya dan bahwa kemerdekaan diproklamasikan oleh kelompok kecil fanatik yang bekerja sama dengan Jepang. Itulah sebabnya Sukarno digambarkan sebagai 'Mussert Indonesia', yaitu orang yang mendirikan partai Nazi di Belanda pada 1930-an. Lembaga Darurat Hindia Timur (Stichting 'Indië in Nood') sangat menentang kemerdekaan Indonesia. Penggunaan nama 'Indië' (Hindia Timur) yang terus digunakan, alih-alih 'Indonesia,' dalam nama lembaganya juga menyiratkan banyak hal. Lembaga ini menyebarkan propaganda untuk menyerukan pemulihan otoritas Belanda sesegera mungkin. Naga Jepang dan pejuang Indonesia yang bersatu di bawah bendera Indonesia menyerang seorang wanita Indonesia dengan bayinya, menggambarkan kekerasan — dilambangkan dengan gunung berapi — yang akan membanjiri Indonesia, kecuali Belanda mengambil tindakan. Seperti teks di atas yang menyatakan, "Teror dan kemiskinan di bawah bendera Merah Putih". Hanya di bawah bendera Belanda dapat tercapai ketertiban dan kemakmuran (“Orde en Welvaart”), seperti yang digambarkan oleh gambar damai dengan orang-orang pekerja keras di sawah. ‘Onder de Rood-Witte vlag Terreur en Armoede - Onder het Rood-Wit-Blauw Orde en Welvaart’. Poster. Penerbit: Stichting ‘Indië in Nood’, c. 1945. Or. 27.011-4. -
2.2 Informasi Bisa Memakan Nyawa
Perjuangan di Indonesia berubah menjadi perang gerilya yang melibatkan banyak warga sipil, baik sebagai pelaku, saksi, ataupun korban. Bagi militer Belanda, siapa kawan dan siapa lawan seringkali tidak jelas. Oleh karena itu, poster instruksional ini memperingatkan tentara Belanda untuk tidak membicarakan masalah perang (“Zwijg!” artinya ‘Diam!’). Pesan poster ini adalah bahwa siapa pun bisa menjadi musuh, bahaya mengintai di mana-mana, dan karena itu Anda tidak akan pernah bisa berbicara dengan bebas. Hal ini ditegaskan dengan gambar pohon palem dan rumah di kampung yang 'mendengarkan' percakapan para serdadu Belanda. Pesan yang sama disampaikan dalam poster layanan keamanan lapangan yang menunjukkan telinga besar di semak-semak yang sedang menguping. Gambar ini mengacu pada fakta bahwa lawan jauh lebih akrab dengan lingkungan tropis, dan oleh sebab itu dapat mendekat tanpa diketahui. ‘Zwijg!’ and ‘Gegevens kosten levens’. Dua poster instruksional yang diproduksi oleh veiligheidsdienst, 1948-1949. H 1878-9. -
2.3 Sesuatu Yang Hebat Telah Dihancurkan di Luar Sana
“Mereka memilih juga... Dan sesuatu yang hebat dihancurkan di sana”. Keterangan ini merupakan versi lain dari ungkapan terkenal “Daar werd iets groots verricht” (Sesuatu yang hebat telah diraih di luar sana)," yang dikemukakan oleh gubernur Hindia Belanda abad ketujuh belas, Jan Pieterszoon Coens. Ungkapan ini digunakan untuk menggalang dukungan di Belanda untuk proyek kolonial. Poster diproduksi oleh Komite Nasional Pemeliharaan Kerajaan (National Comité Handhave Rijkseenheid), pendukung yang agresif dalam mempertahankan Hindia Belanda. Poster tersebut menjelaskan posisi komite dalam topik tersebut. Tidak hanya pemimpin Indonesia Sukarno dan Hatta yang dicap sebagai “kaki tangan” Jepang — narasi umum pada saat itu — tetapi terdapat juga kritik terhadap politisi Belanda Schermerhorn, “gubernur” Van Mook dan mediator Inggris Lord Killearn. Ketiga orang tersebut dilukiskan sebagai musuh, sama seperti orang Indonesia, yang menunjukkan sejauh mana perpecahan internal di Belanda mengenai 'soal Hindia'. Poster untuk Nationaal Comité Handhaving Rijkseenheid. Two fonts. Belanda, 1948. Penerbit: Nationaal Comité Handhaving Rijkseenheid. D Or. 704, nomor 29. -
2.4 ‘Peloppers’ dan ‘Ekstrimis’
“Ekstrimis yang ditangkap” (Gevangen extrimisten) tulis serdadu Belanda, Piet Groot, di foto ini yang ia tempel di albumnya. Tentara Indonesia dipandang oleh militer Belanda sebagai 'ekstremis' dan juga sering disebut 'teroris'. Gagasan di balik penggunaan istilah ini oleh Belanda adalah untuk melegitimasi perjuangan melawan musuh di Indonesia. Kata "peloppers" dalam bahasa Indonesia yang tertulis di bawah foto kedua berasal dari bahasa Belanda, "voorloper", yang berarti "pelopor". Tentara Indonesia menyebut rekan pejuang yang bertempur di daerah-daerah yang di bawah kendali Belanda sebagai pelopor. Banyak orang Belanda yang tidak mengetahui perbedaan antara prajurit yang bertempur di garis depan dengan pasukan Indonesia lainnya, sehingga istilah ini sering salah digunakan untuk menyebut semua pejuang Indonesia, tentunya dengan nada yang negatif. Prajurit Indonesia yang Ditangkap. Jawa, c. 1947. Foto diambil oleh W.M. van der Leeuw. Or. 27.764, album 2, halaman 16. Prajurit Indonesia yang Ditangkap. Jawa, c. 1947. Foto diambil oleh Piet Groot. Or. 28.046, halaman 32. -
2.5 Musuh dari Atas
Poster ini menggambarkan sebuah pesawat Belanda, Warhawk P-40, yang oleh orang Indonesia dicap sebagai “musuh” karena banyaknya korban yang jatuh. Salah satu satu serangan dari pesawat ini yang mengakibatkan kerusakan terjadi pada tanggal 29 Juli 1947, sekitar seminggu setelah Belanda memulai Agresi Militer Pertama mereka. Pada hari itu, sebuah pesawat Indonesia yang mengangkut obat-obatan ditembak jatuh oleh pesawat P-40 Belanda tersebut. Beberapa pemimpin kunci Indonesia yang ada di pesawat tersebut meninggal dunia. Pemerintah Indonesia memprotes insiden penembakan karena pesawat Dakota hanya membawa obat-obatan, dan pihak Belanda telah diberitahu tentang hal ini. Peristiwa ini diingat dalam waktu yang sangat lama oleh orang Indonesia pasca perang: bandara-bandara penting di Jawa dinamai menurut nama para penerbang Indonesia yang tewas dalam serangan itu. Poster ini selain bertujuan untuk mengingatkan para pejuang Indonesia akan bahaya fisik yang dibawa oleh pesawat ini, juga mengingatkan mereka akan perjuangan kemerdekaan Indonesia. ‘Musuh!’. Satu dari tiga belas lembar gambar asli Indonesia yang digunakan sebagai desain poster propaganda. c. 1947. Cat air di atas kertas kaku. Or. 27.649. -
2.6 Penindasan Selama 350 Tahun
Poster ini menggambarkan seorang pria Indonesia berpeci hitam, dengan bendera Indonesia di belakangnya. Ia menunjuk ke arah pria dengan label “NICA” (Administrasi Sipil Hindia Belanda) di bahunya, yang dikenal sebagai Letnan Gubernur Jenderal Hindia, H.J. van Mook. Gambar ini menunjukkan kebencian pejuang Indonesia terhadap Van Mook, yang dianggap sebagai salah satu penyebab penderitaan mereka. Judulnya posternya adalah “350 tahoen ditindes”. Di gambar bagian bawah, terlihat tiga orang Indonesia yang sangat kurus dan kelelahan, dengan seorang tentara Jepang yang berada di depan mereka. Keterangan ini berbunyi “3 1/2 tahoen diperas”, melambangkan dampak pendudukan Jepang di Indonesia. Pesan poster ini jelas: penderitaan, kelaparan, keterbelakangan, dan kesedihan yang dialami bangsa Indonesia yang disebabkan oleh penindasan oleh Belanda dan Jepang. 'Penindasan 350 tahun, Eksploitasi 3,5 tahun'. Foto poster propaganda Republik Indonesia. Indonesia, c. 1949. Fotografer tidak dikenal. KITLV 41416. -
2.7 Dipukul Dengan Palu
Poster ini menggambarkan seorang pria kaya berpakaian rapi yang dipukul dengan palu bergambar bendera Indonesia. Teks di sebelah kiri bertuliskan: “La busett...enakk banget ja!”. Sepertinya, kata yang berwarna merah, "Daulat", ditambahkan kemudian. Orang yang menjadi objek olok-olok yang dipukul oleh palu mewakili Belanda dan Indonesia yang mengambil keuntungan dari perang. Teks berikut berbunyi: “Nah ini lu rasain djuga ja”. Hal ini menunjukkan bahwa pejuang Indonesia akan menghukum siapa saja yang menghasilkan uang selama perang dengan mengorbankan rakyat Indonesia. Pria digambarkan merokok tang (atau catut), simbol yang mengacu pada seseorang yang menghasilkan uang dengan melakukan penjualan dengan harga pasar gelap selama masa perang. ‘Pipa baru?’. Salah satu dari enam desain poster propaganda Indonesia. c. 1946/47. Diwarnai dengan tangan. Kemungkinan berasal dari pusat propaganda Indonesia Poesat Propaganda (PESINDO). Or. 27.011-14. -
2.8 Cara Belanda Berperang
Teks tersebut berbunyi “Tjara Belanda berperang”. Orang di sebelah kiri melambangkan pejabat kolonial (berpakaian bendera Belanda warna merah, putih, dan biru). Ia mewakili para politisi, pejabat, dan pemodal Belanda yang dituduh sebagai dalang rekolonisasi Indonesia setelah tahun 1945. Mereka tidak berani melawan secara langsung, tetapi dengan menggunakan serdadu Belanda dan orang-orang Indonesia yang menjadi bagian dari tentara kolonial Belanda. Orang berseragam tentara mungkin mewakili tentara Belanda, yang kulitnya menjadi kecokelatan karena pertempuran di daerah tropis, atau tentara pribumi yang tergabung dalam KNIL. Poster tersebut menuduh tentara telah dimanipulasi oleh pejabat Belanda untuk memerangi orang Indonesia dengan upah yang sedikit, seperti yang ditunjukkan dengan kantong yang ditandai dengan simbol gulden (“f...”) yang dipegang oleh pejabat Belanda. ‘Tjara Belanda berperang’. Satu dari 13 lembar gambar asli Indonesia yang digunakan sebagai desain poster propaganda. c. 1947. Cat air di atas kertas kaku. Or. 27.649. -
2.9 Mengolok-olok Hirarki Kolonial
Dicetak oleh Biro Penerangan Banjarnegara di Jawa Tengah, poster ini menggambarkan tentara Belanda totok (putih) berkendara dengan aman dengan jip militer. Mereka dilindungi oleh tentara dari berbagai etnis. Para propagandis Indonesia mengolok-olok hierarki rasial yang ada di antara tentara Belanda, di mana Belanda totok mendapatkan perlakuan istimewa dibandingkan tentara lain. Tentara Belanda merekrut orang Indonesia dari semua kelompok etnis. Poster ini mencoba menyadarkan tentara non-Belanda akan diskriminasi yang mereka alami. Dengan demikian, poster tersebut menyiratkan bahwa Republik Indonesia dan tentaranya menentang hierarki rasis yang ada di tentara kolonial Belanda. ‘Selamanja: Blanda Totok dibelakang, kamoe didepan!’ Satu dari tujuh selebaran Indonesia. Or. 27.740-2. -
2.10 Diplomasi Bambu Runcing
Poster ini menggambarkan seekor merpati putih dengan bendera Union Jack yang melambangkan Britania Raya dan seekor burung gagak yang melambangkan Belanda. Di Indonesia, gagak sering dikaitkan dengan pertanda buruk; dalam gambar menunjukkan bahwa Belanda akan membawa teror ke Indonesia. Gagak membagikan pamflet yang berisi janji-janji Belanda kepada Indonesia setelah Perang Dunia Kedua: bahwa Indonesia akan diberikan kekuasaan untuk mengatur pemerintahannya sendiri di dalam Kerajaan Belanda. Hal ini diungkapkan Ratu Wilhelmina dalam pidatonya pada 7 Desember 1942. Gambar tombak bambu itu menunjukkan bahwa rakyat Indonesia sangat menentang usulan itu. Teks “Diplomasi bambu runtjing” menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya tidak akan pernah menyetujui usulan yang mendefinisikan Indonesia sebagai bagian dari Kerajaan Belanda. ‘Diplomasi bambu runtjing’. Satu dari tiga belas lembar gambar asli Indonesia yang digunakan sebagai desain poster propaganda. c. 1947. Cat air di atas kertas kaku. Or. 27.649. -
2.11 Berontak!
Poster ini menggambarkan seorang tentara Indonesia dan dua musuh bebuyutannya, seorang Belanda dan kaki tangannya orang Indonesia yang sama-sama mendapat keuntungan dari upaya perang. Oleh karena itu, kata “berontak” tertulis di bagian atas musuh-musuh kemerdekaan Indonesia ini. Poster ini berisi pesan bahwa tentara Indonesia akan menghukum siapa pun yang memancing di air keruh. Baret prajurit itu sudah sobek, lalu ditambal agar masih bisa dipakai. Pada saat itu, pemerintah Indonesia kesulitan memberikan seragam kepada tentara Indonesia sehingga beberapa tentara Indonesia mengenakan pakaian yang sobek dan ditambal. Tanda jahitan pada gambar ini melambangkan kontras dengan kekayaan Belanda dan kaki tangannya, dan membingkai musuh-musuh Indonesia sebagai pihak yang pantas menerima hukuman berat. ‘Berontak!’. Salah satu dari enam desain poster propaganda Indonesia. c. 1946/47. Diwarnai secara manual. Kemungkinan berasal dari pusat propaganda Indonesia Poesat Propaganda (PESINDO). Or. 27.011-14. -
2.12 Hak Untuk Merdeka
Poster ini sepertinya diproduksi dan disebarkan tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, dilihat dari isinya yang menggunakan bahasa Inggris. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian dan simpati pasukan Sekutu. Kata “hak” dalam poster ini menjadi kata kunci karena mengandung pesan utama yang ingin disampaikan kaum nasionalis Indonesia: kemerdekaan Indonesia bukanlah pemberian Jepang, melainkan hak bangsa Indonesia. Kaum nasionalis Indonesia melawan tuduhan Belanda bahwa para pemimpin nasionalis Indonesia, termasuk Sukarno, adalah kaki tangan Jepang. Poster ini membantu membangun legitimasi atas keberadaan negara Indonesia yang merdeka dengan menekankan bahwa kemerdekaan adalah hak asasi setiap bangsa. ‘We don’t ask for freedom, we’ve got the right to it!’. Satu dari tiga belas lembar gambar asli Indonesia yang digunakan sebagai desain poster propaganda. c. 1947. Cat air di atas kertas kaku. Or. 27.649. -
2.13 Revolusi Muda
Sejak tahun 1943, kaum muda bergabung dengan berbagai organisasi militer dan paramiliter Jepang atau Indonesia dalam jumlah besar. Para remaja dan orang-orang berusia dua puluhan ini adalah orang-orang yang terus berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dalam perang kemerdekaan. Jumlah mereka lebih dari dua juta. Di Belanda, kaum revolusioner muda terkenal dengan peran mereka dalam periode Bersiap, yang berlangsung dari bulan Oktober tahun 1945 hingga awal tahun 1946, salah satu periode terkelam dalam perang. Para pejuang menyebut diri mereka pemuda, diambil dari Pemuda Indonesia, sebuah organisasi pemuda nasionalis yang didirikan pada tahun 1920-an. Foto-foto ini menunjukkan bagaimana para pejuang kemerdekaan muda melihat diri mereka sendiri: mereka menampilkan diri mereka dalam potret ini sebagai orang yang tak kenal takut. Gambar semacam ini jarang terlihat dalam koleksi Belanda. Tidak diketahui bagaimana gambar-gambar ini dapat berakhir di album foto seorang tentara Belanda. Prajurit Pemuda dengan senjata. Jawa, c. 1945. Juru Foto tidak diketahui. KITLV A216, KITLV 14044. Potret rombongan prajurit pemuda. Jawa, c. 1945. Juru Foto tidak diketahui. KITLV A216, KITLV 14050. Seorang prajurit di tentara rakyat. Jawa, c. 1945. Juru foto tidak diketahui. KITLV A216, KITLV 14048. -
2.14 Jebakan (wawancara)
Terdapat perbedaan besar antara angkatan bersenjata Belanda dan angkatan perang Indonesia. Tentara Belanda lebih terlatih dan dipersenjatai dengan senjata lengkap dan berat. Namun, tentara Indonesia memiliki keunggulan dalam jumlah. Ketidakseimbangan antara kedua belah pihak ini mendorong pihak Republik memilih perang gerilya. Mereka melawan balik militer Belanda dengan serangan dan penyergapan secepat kilat. Bapak H., keturunan Belanda-Jawa, bergabung dengan laskar pemuda, satuan tentara untuk pemuda. Bersama ayahnya, ia berbaris ke pegunungan dengan pasukan Republik, berada di depan tentara Belanda. Ia berbicara tentang taktik gerilya yang digunakan. Ketika ia dan pamannya menjebak dua wajib militer Belanda dalam penyergapan, menangkap mereka, dan menginterogasi mereka, ia mendapatkan sekilas perspektif Belanda mengenai perang di Indonesia. Wawancara dengan H. SMGI 1697.1 (12), 2000. Kelompok revolusioner muda di sebelah senjata artileri. Jawa, c. 1945-1949. Fotografer tidak dikenal. KITLV 14047. Transkripsi J: “Di Jawa Barat bukanlah perang sungguhan. Perang yang sesungguhnya adalah yang terjadi dengan Westerling di Sulawesi. Belanda selalu menembak karena mereka memiliki senjata dan amunisi. Kami mengubur bom batok, bom pinggir jalan yang meledak dengan dentuman besar ketika kendaraan militer lewat. Atau merentangkan batang pohon Liana di jalan. Ketika momennya tepat, kita tarik batang Liana tersebut. Saya pernah menyaksikannya langsung ketika salah seorang paman saya melakukannya. Setelahnya kami bisa menangkap seorang pengendara motor berkebangsaan Belanda. Dua orang serdadu Belanda berhasil kami tangkap dan langsung diseret masuk kampung. Kami lalu berbincang dengan mereka. Mereka mengaku sebagai wajib militer. Saya tercengang mendengar apa yang mereka katakana. Mereka dipersiapkan untuk apa sebelum dikirim ke Indonesia? “Ada kelompok yang disebut rampokker atau pemuda yang membahayakan nyawa orang-orang Belanda. Kami datang untuk membebaskan negeri ini.” Mereka juga sering menggunakan kata ‘ekstremis’. “Ya, tapi seperti apa tampilan mereka, bagaimana saya bisa mengenali mereka?” Akhirnya, kami melakukan barter. [tertawa keras] I: ““Apakah mereka ditukar dengan tawanan Indonesia??” J: “Ya, dua orang Belanda untuk dua puluh atau empat puluh orang Indonesia!” [tertawa keras]